Ramaiku sendiri


Di tengah ramai, aku berjalan sendiri,
Berteman banyak, tapi jiwaku sepi.
Bicara banyak, tertawa riang,
Namun ada ruang kosong yang tak bisa kuhilangkan.

Rumahku terasa hanya sebagai tempat tidur,
Bukan tempatku pulang, bukan tempat untuk berbicara.
Di sana hanya sunyi yang menemani,
Tak ada hangat, hanya sepi yang menyelimuti.

Teman di sisi, tapi hatiku terasing,
Sepertinya aku dan dunia ini terpisah panjang sekali.
Apakah mereka palsu, atau aku yang menutup diri?
Tak bisa terbuka, entah karena apa.

Aku simpan cerita, aku pendam sendiri,
Tak tahu kenapa, hanya tak tahu untuk berbagi.
Ingin berbicara, ingin ada yang mendengar,
Namun aku hanya sendiri.

Apa yang salah? Aku bertanya dalam hati,
Apakah ini hanya aku yang terlalu takut untuk berbagi?
Mungkin, hanya butuh sedikit keberanian,
Untuk membuka pintu hati dan berbagi dengan orang lain.

Namun di sini aku masih bertanya,
Apakah kesepian ini hanya sekadar ilusi belaka?
Atau memang aku yang belum benar-benar menemukan,
Tempat yang bisa kusebut rumah, tempat yang penuh kehangatan?

Bagus Abady,
Sudiang, Desember 2024
Share:

Rencana indahmu


Di awal perkuliahan kita bertemu,  
Teman biasa dalam status mahasiswa,  
Waktu demi waktu berlalu,  
Kita lulus dan menghilang begitu saja.

Setahun berlalu, aku menyapamu di Instagram,
Kau membalas dengan hangat,
Aku meminta nomor WhatsApp-mu,
Dengan emot senyum kau memberiku.

Dua tahun sejak mendapatkan nomor WhatsApp-mu,  
Kita berdua menjadi sangat dekat,
Tiada hari tanpa saling bertukar cerita,
Bahkan saat pergi umrah, kau membawaku dalam doa.

Oleh-oleh parfum dan sejadah yang kau beri,  
Senyummu hangat, mencairkan jarak,  
Namun di balik rasa ini, hati terdiam,  
Cinta yang kupendam, hanya kuasa diri.

Di suatu malam biasa, kau bercerita tentang rencana indahmu,
Betapa hatiku terhujam saat mengetahuinya,  
Selama ini, aku yang jatuh terjerat,  
Sementara kau, sahabat, tak merasa cinta.

"Aku sering memikirkan kita."
"Iya, kita memang sedekat itu."
"Itu yang aku takutkan."
"Maksudmu?"
"Aku jatuh cinta padamu, aku tahu hanya aku saja."
"Aku tidak tahu harus bilang apa. Aku sangat menghargai persahabatan kita."
"Ya, aku tahu. Semoga lancar pernikahanmu."
"Terima kasih. Kamu sahabat terbaik. Semoga kita bisa terus berteman."
"Ya, semoga..."

Bagus Abady,
Daya, Oktober 2024
Share:

Sempurna dalam dunia yang fana


Di antara bisikan angin, aku berdiri terdiam,
Menatapmu dari jauh, dalam keramaian yang tak terhitung,
Kau bintang yang bersinar, sempurna dalam setiap langkah,
Sedang aku, hanya bayang-bayang, yang tak tahu arah.

"Kau tahu, kadang aku berharap," kataku dalam hati,
"Andainya berani, aku ingin menyatakan rasa ini,
Tapi bagaimana jika semua ini sia-sia,
Aku bukan siapa-siapa, dan kau begitu bermakna."

Kau tersenyum, menatap langit biru,
Sementara hatiku bergetar, tak berani bersuara,
"Tak apa, mungkin waktu akan menjawab,"
Juga rasa ini takkan pernah padam.

Di balik senyummu, aku terbenam dalam harapan,
Seolah semua kekurangan ini tak ada artinya,
Karena mencintaimu, adalah keindahan tersendiri,
Walau ku tahu, aku hanya mimpi yang tak terjamah.

Jadi di sini, aku tetap menanti,
Sebuah momen, seuntai kata, yang mungkin takkan ada,
Dalam kerendahan hati, kutuliskan sajak ini,
Untukmu, yang sempurna, dalam dunia yang fana.

Bagus Abady,
Daya, Oktober 2024
Share:

Biar saja hancur semuanya


Di sudut kamar yang gelap,
aku duduk bersandar pada dinding,
memandangi poster-poster impian yang pernah menghiasi hidupku. 

"Ada rasa kecewa dalam diri,
kenapa saya selalu kalah dalam semuanya?" pikirku, 
suara hatiku menggema dalam kesunyian. 

Setiap usaha yang kulakukannya seolah berujung pada kegagalan. 

Dari ujian yang tidak pernah lulus, 
hingga wanita yang kuidam-idamkan, 
semuanya berantakan.

Rasa ingin marah sudah meluap dalam kepalaku, 
berputar-putar seperti badai yang tak tertahan. 
"Tapi tak akan kulakukan karena buat apa?" 

Aku menatap langit-langit kamar, 
berusaha menenangkan diri. 
Mengamuk tidak akan mengubah apa pun; hanya akan membuatku terlihat lemah.

Sehari sebelumnya, 
aku baru saja mendapat kabar,
aku gagal lagi dalam sebuah seleksi.

Semua kerja keras, semua malam tanpa tidur, 
seakan sirna dalam sekejap. Aku merasa hancur, 
seperti kaca yang jatuh dan pecah berkeping-keping. 

"Sudah cukup bagiku, biar saja hancur semuanya!" desahnya, 
menatap bayangan dirinya yang terpantul di cermin.

Malam itu, 
aku menutup mata dan membayangkan hidupku yang berbeda, 
aku membayangkan kebangkitan dari keterpurukan. 

Dalam kegelapan, 
aku merasakan dorongan baru, sebuah harapan kecil. 
“Mungkin hancur bukanlah akhir, tapi awal dari sesuatu yang lebih baik,” gumamku.

Bagus Abady,
Sudiang, Oktober 2024
Share:

Sekuat tenaga


Lengannya kekar ditempa kerasnya dunia,
wajahnya luka, hatinya penuh doa-doa,
di jalan yang terjal dia terus berlari,
tidak gentar meski dunia menghakimi.

Sepatu lusuh, baju penuh noda,  
dia tetap berjuang, tak peduli hina dan cela,  
dalam gelap terbit harapan di hatinya,  
semoga mampu melewati semua.

Hari demi hari berlalu tanpa henti,  
beban berat tak membuatnya mati,  
hidup mengajar dengan cara yang keras,  
namun semangatnya tidak punya batas.

Ia tahu jalan ini penuh rintangan,  
namun tak pernah hilang kepercayaan,  
bahwa di ujung sana ada cahaya,  
menyambut dia dengan penuh sukacita.

Di tengah kerasnya dunia yang menghajar,  
seorang anak lelaki harus terus bersabar,  
babak belur tak membuatnya mundur,  
karena dalam hatinya ada nyala tak terukur.

Bagus Abady,
Daya, Mei 2024
Share:

Perlawanan itu terus tembuh


Di sudut ruangan, di dalam tempat sampah,
Bertumpuk janji yang sudah pasti didusta,
Politikus berperut buncit dengan mulut menganga
Duduk manis seakan tanpa dosa.

Mereka duduk di kursi megah, berbicara lantang,
Mengobral janji seperti hujan di musim kering,
Rakyat menanti, berharap tanpa batas pandang,
Namun hanya dusta yang selalu terjalin.

Hari demi hari, janji-janji tinggal kata,
Rakyat lelah menanti perubahan nyata,
Politikus tersenyum, berpura-pura setia,
Namun di balik layar, ambisi saja yang membara.

Keadilan yang dijanjikan hanyalah mimpi,
Rakyat tertindas, merintih dalam sunyi,
Kebenaran tertutup oleh uang dan posisi,
Para pemimpin lupa akan nurani dan empati.

Mereka tertawa, berpesta di atas derita,
Rakyat memandang dengan mata yang menyala,
Mimpi indah yang diimingkan tak pernah nyata,
Hanya rasa sakit yang terus-menerus diterima.

Bagus Abady,
Daya, Mei 2024

Share:

Berteman bayang

 

Dalam sepi malam tanpa bintang,
Seorang pria termenung sendiri,
Sahabat yang dulu setia dan riang,
Kini jauh pergi, hatinya berseri.

Waktu berlalu, bayangmu memudar,
Ditemani pacarnya, sahabatku pergi,
Namun di sini, aku terkurung dalam sadar,
Mengenang tawa yang perlahan sunyi.

Kopi dingin di meja, dan suara angin,
Mengisi hampa yang kian mendalam,
Hanya memori yang terukir di dinding,
Sahabatku, di mana kini kau merajam?

Dalam sunyi, hatiku bersuara,
Mencari jejak yang telah lama pudar,
Sahabat, meski kau kini jauh di sana,
Persahabatan kita takkan pernah terlantar.

Bagus Abady,
Daya, Mei 2024


Share: